Kedudukan Rasio dalam al-Qur’an (Studi Pemikiran Yusuf Qardhawi)
Pendahuluan
Era modern menuntut semua manusia untuk pandai dalam segala bidang
tak terkecuali dalam hal pemikiran. Manusia di zaman now atau kekinian
terfasilitasi dengan selancar dalam dunia
maya yang perkembangannya semakin menggila hari demi hari. Informasi
apapun yang diinginkan akan dimunculkan oleh dunia maya, kejahatan dan kebaikan
saling bersaing untuk mendapatkan peringkat tertinggi dalam kacamata dunia. Tak
jarang orang yang dulunya bukan siapa-siapa akan tetapi dengan dunia maya
menjadi sangat dikenal di seluruh penjuru Negara. Mereka pun memiliki cara-cara
tersendiri dalam menggunakan dunia maya, ada dengan keanehannya yang dipertontonkan,
kecantikan yang dipamerkan, ilmu-ilmu yang disebarkan sehingga semua ini
menjadi panutan dalam akal manusia yang tidak bisa tertolak.
Para Da’I pun tak turut ketinggalan dalam menyebarkan islam lewat
media maya, dari da’I yang memiliki ilmu yang tinggi dan dapat dipertanggung
jawabkan hingga dai’I yang tidak memiliki ilmu dan kopenten dalam agama yang
hanya mengaku-ngaku sebagai da’I agar dapat terkenal pun terkadang secara jelas
menunjukkan ketidak berilmuannya. Mirisnya terdapat sebagain masyarakat yang
tak mengerti bahwa mereka terjebak dalam pemikiran da’I yang ngelantur tak
berarah. Tak ada bimbingan dari orang yang mumpuni dalam hal-hal segala
keahlian yang dipaparkan dalam dunia maya hingga masalah-masalah yang penting
yaitu tentang ilmu yang akan menjadi penyetir dalam otak setiap orang dalam
bersikap dan berfikir yang akhirnya menjadikan dunia ini kacau dengan
pemikiran-pemikiran yang salah.
Dalam menerima segala sesuatu, setiap manusia diharapkan untuk
menyaring apakah itu benar apakah tidak, karena manusia memiliki rasio
pemikiran yang hebat yang dapat membedakan benar dan salah. Namun, belum terkonsep secara baik, rasio
adalah tentara pertama dalam diri manusia dalam menerima segala sesuatu
kemudian di olah menjadi sebuah data dalam otak. Oleh karenanya dalam
penggunaan rasio pun sangat dibutuhkan rambu-rambu yang tertata dan terkonsep
dengan baik. Sebagai umat muslim maka tidak perlu mencari jauh-jauh tentang
konsep rasio, umat muslim memiliki kitab yang didalamnya mengandung segala ilmu
kehidupan yang tercantum dari kehidupan manusia sebulum lahir ke dunia hingga
kehidupan setelah kematian. Maka dari itu konsep terbaik menyangkut rasio dapat
di ambil dari al-Qur’an sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia. Dalam
penjabaranya, penulis akan menggunakan studi pemikiran Yusuf Qardhawi.
Pembahasan
Rasio menurut kamus bahasa
Indonesia adalah pemikiran menurut akal sehat, nalar, akal.[1]
Rasio adalah kata serapan dari bahasa inggris yaitu reason. Dalam bahasa
inggris juga rasio diterjemahkan menjadi
intelligence, intellect, understanding, dan intellect. Dalam bahasa arab diterjemahkan menjadi al-Aql.[2]
Kata rasio dalam al-Qur’an disamakan dengan term ‘aql.
Materi ‘aql dalam Al-Qur’an terulang sebanyak 49 kali. kecuali satu, seluruh matri disebutkan dalam
bentuk fi’il mudhari’ terutama materi yang bersambung dengan wawu
jama’ah’, seperti bentuk ta’qilun atau ya’qilun. Adapun kata
kerja ta’qilun terulang sebanyak 24 kali dan kata kerja ya’qilun sebanyak
22 kali. Sedangkan kata kerja ‘aqala, na’qilu, dan ya’qilu
masing-masing terdapat satu kali.[3] Memperbincangkan
‘aql dalam Al-Qur’an terdapat bergagai macam redaksi yang perlu dibahas
secara tuntas. Berikut adalah penjelasan-penjelasan terkait dengan ayat-ayat
yang mengandung materi ‘Aql dengan berbagai macam variasinya;
Pertama kali akan dibahas tentang redaksi afala ta’qilun dalam
al-Qur’an. Redaksi ini lebih mencolok dalam hal penggunaan istifham inkari ’pernyataan
negatif’ yang bertujuan memberikan dorongan dan membangkitkan semangat. Bentuk
redaksional afala ta’qilun terulang dalam al-Qur’an sebanyak 13 kali.
Diantaranya adalah firman Allah dalam surat Yunus ayat 16,
قُلْ لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا تَلَوْتُهُ عَلَيْكُمْ وَلَا أَدْرَاكُمْ بِهِ
ۖ فَقَدْ لَبِثْتُ فِيكُمْ عُمُرًا مِنْ قَبْلِهِ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Katakanlah: "Jikalau Allah menghendaki,
niscaya aku tidak membacakannya kepadamu dan Allah tidak (pula)
memberitahukannya kepadamu". Sesungguhnya aku telah tinggal bersamamu
beberapa lama sebelumnya. Maka apakah kamu tidak memikirkannya?”. (QS. Yunus:
16)
Yusuf Qardhawi mengomentari ayat di atas Allah telah memberi
perintah kepada Rasulullah saw. untuk menjelaskan kepada mereka bahwa
Rasulullah diutus kepada mereka berdasarkan perintah Allah dengan membawa wahyu
berupa Al-Qur’an bukan berdasar pada hawa nafsu semata. Dengan adanya ayat
diatas seharusnya bangsa arab dapat berfikir berulang kali tentang ajaran yang
di bawa oleh orang yang sangat di percaya di bangsa arab, telah puluhan tahun
Rasulullah saw tinggal bersama mereka dan tidak mendakwahkan suatu ajaran
apapun, berbicara tengtang tuhan yang satu, mengaku-ngaku mendapat wahyu. Maka
bagaimana mungkin seorang yang sangat dipercaya selama empat puluh tahun
melakukan tindakan yang menyimpang dan berdusta, bertintak kontroversial tanpa
sebab dan justifikasi. Padahal sampai diutusnya
Rasulullah saw pada mereka, mereka tetap tinggal bersama Rasulullah saw
dan menyaksikan kondisi Rasulullah saw baik ketika di rumah maupun ketika
bepergian sendirian atau bersama orang lain.[4]
Firman
Allah yang lain seperti
وَهُوَ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ وَلَهُ اخْتِلَافُ اللَّيْلِ
وَالنَّهَارِ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Dan Dialah yang menghidupkan dan mematikan,
dan Dialah yang (mengatur) pertukaran malam dan siang. Maka apakah kamu tidak
memahaminya?”. (Qs. Al Mu’minun: 80)
Dalam Ayat ini di terangkan bagaimana kuasa Allah dalam menjalankan
kosmos kehidupan, Ia menghidupkan dan mematikan, apakah manusia mampu
menandingi?, Ia menggilir siang dan malam secara teratur tanpa adanya penundaan
dan keterlambatan, apakah manusia mampu mengubah yang sebaliknya?. Ini semua
merupakan tanda-tanda kesempurnaan kekuasaan Allah, keluasan kehendak-Nya, dan
ketinggian hikmah-Nya yang tak mungkin di miliki oleh manusia yang sangat hina.
Peristiwa seperti ini adalah mutiara yang tidak dapat di tukar oleh apapun bagi
orang-orang yang mempunyai akal, cerdas, dan mampu merenung. Maka apakah kalian
tidak berfikir, wahai orang-orang yang sombong dan ingkar?.[5]
Dalam al-Qur’an bentuk akal meliputi juga term ta’qilun, term
ini mengisyaratkan bahwa manusia diharuskan untuk berfikir yang berkaitan
dengan ayat-ayat al-Qur’an baik ayat yang tertulis maupun ayat yang tidak
tertulis.
اعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يُحْيِي الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا ۚ قَدْ
بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Ketahuilah olehmu bahwa sesungguhnya Allah
menghidupkan bumi sesudah matinya. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan kepadamu
tanda-tanda kebesaran (Kami) supaya kamu memikirkannya.” (QS. Al
hadid:17)
Dalam
penggunaan akal Yusuf Qardhawi memiliki point-point penting supaya manusia
tidak tergelincir dari penggunaan akal pemikiran ataupun dalam menerima sebuah
pemikiran dari seseorang atau media[6],
yaitu:
1. Tidak menerima
pengakuan atau pemikiran tanpa dalil
أَمَّنْ يَبْدَأُ الْخَلْقَ
ثُمَّ يُعِيدُهُ وَمَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ ۗ أَإِلَٰهٌ
مَعَ اللَّهِ ۚ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“Atau siapakah yang menciptakan (manusia dari
permulaannya), kemudian mengulanginya (lagi), dan siapa (pula) yang memberikan
rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang
lain)?. Katakanlah: "Unjukkanlah bukti kebenaranmu, jika kamu memang
orang-orang yang benar"”. (QS. an Naml: 64)
2.
Menolak dugaan pada tiap tempat yang dituntut
di dalamnya sebuah keyakinan pasti dan ilmu yang kuat
وَمَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ ۖ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ ۖ
وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
“Dan mereka tidak mempunyai sesuatu
pengetahuanpun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan
sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap
kebenaran”. (QS. An-Najm: 28)
3.
Menolak emosi hawa nafsu dan interest pribadi
pada hal yang didalamnya dituntut obyrktifitas.
يَا دَاوُودُ إِنَّا
جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا
تَتَّبِعِ الْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِنَّ الَّذِينَ
يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ
الْحِسَابِ
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu
khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara
manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan
menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin
jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari
perhitungan.” (QS. Shaad: 26)
4.
Revolusi melawan sikap statis, taklid, dan
mengekor terhadap pemikiran orang lain, baik itu dari nenek moyang, pemimpin,
orang besar maupun
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ
اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ
آبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka:
"Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab:
"(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari
(perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan
mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu
apapun, dan tidak mendapat petunjuk?"”. (Qs. al Baqarah: 170)
5.
Memperlihatkan segala keajaiban alam,
berpandangan kritis, menggunakan pemikiran, dan perenungan.
وَفِي
أَنْفُسِكُمْ ۚ أَفَلَا تُبْصِرُونَ
“dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak
memperhatikan?”. (QS. Ad Zariyat: 21)
Seseorang yang menggunakan akalnya dalam kehidupan mustinya
memiliki tingkat kepekaan dalam hal menentukan sikap, ia akan mudah menentukan
pilihan dalam hidup, dapat membedakan benar dan salah. Akal inilah yang akan
meperlihatkan pada dunia siapa diri kita lewat olah pikir yang tertuang dengan lisan
atau tulisan. Orang yang menggunakan
akalnya akan lebih maju dalam hidupnya dibandingkan dengan yang lain.
Orang-orang yang menggunakan akalnya dalam ilmu pengetahuan inilah yang berhak
mendapat apresiasi yang tinggi karena merekalah yang nantinya akan menjadikan
dunia ini terarah, sebutan yang biasa di sandangkan pada mereka adalah kaum
intelektual sedang sebutan dalam
al-Qur’an ialah kaum ulul albab.
Dalam al-Qur’an ilmu sangatlah dijunjung tinggi, menstimulus umat
dengan ayat-ayat yang memuliakan kaum intelektual. Allah menurunkan ayat-ayat
yang berkenaan dengan kemuliaan kaum intelektual atau ulul albab dalam banyak ayat baik di
surat makiyah maupun madaniyah. Term ulul albab atau ulil albab terulang
dalam Al-Qur’an sebanyak 16 kali. Sembilan diantaranya terdapat dalam Al-Qur’an
maki dan tujuh lainnya terdapat dalam Al-Qur’an madani. Misalnya firman Allah
dalam surat al-Baqarah ayat 176;
ذَٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ نَزَّلَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ ۗ
وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُوا فِي الْكِتَابِ لَفِي شِقَاقٍ بَعِيدٍ
“Yang demikian itu adalah karena Allah telah
menurunkan Al Kitab dengan membawa kebenaran; dan sesungguhnya orang-orang yang
berselisih tentang (kebenaran) Al Kitab itu, benar-benar dalam penyimpangan yang
jauh (dari kebenaran)”. (Qs. Al-Baqarah: 176)
Kacamata manusia dalam menanggapi qishash adalah membunuh jiwa
seseorang. Kemudian dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa qishash adalah jaminan
kehidupan bagi manusia?. Seakan Al-Qur’an adalah kitab yang radikal, kejam, dan
tidak berprikemanusiaan. Disinilah akal seseorang diuji dengan
pernyataan-pernyataan Allah yang tidak masuk akal, tapi hanyalah kaum
intelektual atau para cendekiawan muslim (ulul albab) yang dapat
mengambil pelajaran dari pesan-pesan indah yang dituangkan dalam Al-Qur’an.
Ayat ini ditanggapi oleh ulul albab dengan jawaban dan pemikiran yang
sangat brilian, apabila satu jiwa dibunuh kemudian diberlakukan qishash maka
masyarakat akan terpelihara hidupnya. Karena dengan hukuman qishash tersebut
akan membuat orang takut untuk melakukan kejahatan pembunuhan dan juga
menentramkan hati keluarga yang menjadi korban pembunuhan, disinilah letak
keadilan yang diabaikan oleh banyak orang.[7]
Mennurut Harali (dalam Yusuf
Qardhawi, 1998:31) ulul albab adalah sisi terdalam akal yang berfungsi
untuk menangkap pesan Allah yang terdapat dalam hal-hal yang dapat diindra,
seperti halnya sisi luar akal yang berfungsi untuk menangkap hakikat-hakikat
makhluk, mereka adalah orang-orang yang menyaksikan rab mereka melalui
ayat-ayat-Nya.
Allah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 197
الْحَجُّ أَشْهُرٌ
مَعْلُومَاتٌ ۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا
جِدَالَ فِي الْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ ۗ
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ ۚ وَاتَّقُونِ يَا أُولِي
الْأَلْبَابِ
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang
dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan
haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam
masa mengerjakan haji. “Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya
Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah
takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal”. (QS Al-Baqarah:
197)
Dalam bola mata manusia perbekalan untuk menuju tempat yang amat
jauh dan indah ialah makanan, minuman, pakaian, dan uang. Sedangkan Al-Qur’an
tidak menyebutkan bahwa perbekalan yang wajib dibawa adalah makanan, minuman, pakaian, dan uang tapi
malah sebaliknya perbekalan yang paling baik adalah taqwa. Dalam Al-Qur’an
selalu memberi yang terbaik untuk umat islam, walau terkadang tidak dapat di
cerna oleh otak. Tapi pasti ayat tersebut mempunyai makna yang tersembunyi yang
belum dapat di fahami oleh manusia. Dalam ayat ini sangat terlihat jelas
bahwa ulul albab terpanggil untuk
memikirkan pesan-pesan Allah dan terpanggil untuk bertakwa.[8]
Kesimpulan
al-Qur’an sangat menjunjung kedudukan akal, akal menyimbolkan
kecerdasan emosional dan kecerdasan intelektual dalam usaha memahami,
merenungkan dan menyelami berbagai fenomena ataupun informasi. seorang yang
menggunakan akalnya dengan benar maka ia akan di angkat drajatnya oleh Allah
swt menjadi orang yang mulia diantara ribuan manusia bahkan jutaan sampai
milyaran manusia, tentunya menggunakannya dijalan kebaikan sesuai dengan
tuntunan yang telah Ia turunkan pada manusia. Akal yang digunakan dengan baik
akan menyumbangkan banyak ilmu pengetahuan dan menjadikan tolak ukur kemajuan islam.
Terlihat dalam al-Qur’an menstimulus umatnya agar selalu berfikir
dengan akalnya supanya mendapatkan petunjuk di dunia, menjadikan dunia seimbang
dengan akalnya yang di bimbing oleh al-Qur’an. Al-Qur’an pun menyindir
orang-orang yang tidak menggunakan akalnya dalam memahami al-Qur’an maupun
kanca kehidupan dunia, bahkan orang yang tidak menggunakan akalnya dapat
tergelincir kepada lembah kegelapan yang kelam.
Inilah penggambaran bahwa rasio atau akal sangatlah penting dalam
kehidupan dunia.
Hal yang tidak wajar apabila seseorang hanya menerima informasi
yang belum diketahui benar atau salah tanpa mengklarifikasinya kemudian
memepercayainya. Zaman yang penuh fitnah seperti sekarang ini menjadi momok
yang sangat membahayakan bagi setiap muslim karena musuh-musuh islam begitu
gigihnya mengincar kehancuran islam dengan cara mempengaruhi rasio setiap
muslim dengan informasi-informasi yang salah kaprah lewat media apapun dengan
dihiasi seolah-olah benar dan dipercaya. Disinilah pentingnya penggunaan akal
sehat dalam menghadapi semua hal tersebut, hanyalah generasi ulul albab
yang dapat mengambil pelajaran dan membangun umat lebih baik lagi.
Referensi
Hodri, Penafsiran Akal dalam Al-Qur’an, Mutawatir: Jurnal
keilmuan Tafsir Hadis Volume 3, nimor 1, juni 2013.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2011. Kamus Bahasa
Indonesia untuk Pelajar, Jakarta: Badan Pengembangan Bahasa.
Qardhawi, Yusuf. 1998. Al-Qur’an
Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, terjemah. Jakarta: Gema
Insani.
.1993. Keutamaan
Ilmu dalam slam. Jakarta: Pustaka Panjimas.
[1]
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Bahasa Indonesia untuk Pelajar, (Jakarta:
Badan Pengembangan Bahasa, 2011) hlm 448
[2]
Hodri, Penafsiran Akal dalam Al-Qur’an, Mutawatir: Jurnal keilmuan
Tafsir Hadis Volume 3, nimor 1, juni 2013.
[3]
Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, terjemah,(Jakarta:
Gema Insani, 1998) hlm 19
[7]
Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, terjemah,(Jakarta:
Gema Insani, 1998) hlm 30
Komentar
Posting Komentar